Oleh: Siti Khodijah Lubis*
Seperti tidak percaya aku melihatnya di rumah itu. Persis seperti dikatakan Nek Ijah, Bu Yati, dan orang-orang yang lewat ketika aku baru pulang kerja, dua minggu lamanya di Pasar Malam. Dia kini duduk di atas pangkuan laki-laki itu. Dengan permen lollipop di mulutnya. Laki-laki itu tertawa-tawa bersamanya. Tawa serigala. Laki-laki itu….pacarnya??!
Permen lollipop itu jatuh ke lantai marmer putih teras rumahnya ketika dengan sekuat tenaga aku menjerit: memanggil namanya.
****
Ramadhan 2 tahun yang lalu
Bukannya aku tak menyangka ia akan pergi secepat ini. Memang penyakit TBC yang dideritanya sudah kronis.
“Kenapa tidak dibawa ke puskesmas saja? Kan katanya gratis?” kata Bu Aminah, ketua perwiritan ibu-ibu Nagori Bandar, kampong kami.
Aku menarik napas. Tidak menjawab. Dia tidak tahu, apa pura-pura tidak tahu? Puskesmas yang letaknya di belakang balai desa itu seperti kandang kambing saja. Sudah hampir 8 tahun tidak ada petugas kesehatan yang mengabdi di sana. Jangan coba-coba sarankan kami membawa dia, ibuku, ke klinik, rumah sakit, atau dokter praktek! Jangankan untuk biaya periksa, ongkos ke sana pun kami tak punya. Makan dua kali sehari sudah untung bagi kami.
Kusapukan pandangan ke seluruh rumah. Duduk di dekat pintu, ayah, diam dengan tatapan kosong. Ayah selalu diam dalam menghadapi masalah apapun. Para tetamu dan tetangga hilir mudik, dating dan pergi. Di sampingku, Anggi, adikku satu-satunya menyeka air mata dan ingusnya dengan jilbabku. Sedari tadi aku hanya mampu menepuk-nepuk punggungnya, tanpa bisa berkata apa-apa. Anak kelas 5 SD ini, paling kehilangan dengan kepergian ibu. Sementara air terus mengalir membajiri kelopak mataku. Kesedihan ini terlalu mendalam.
Kemiskinan ini… Nagori Bandar yang sunyi… Kampung yang terletak di pinggiran jalinsum (jalan lintas Sumatra) di Kabupaten Simalungun ini adalah kampung yang cukup paradoks bagiku, Yuyun, umur 14 tahun, putus sekolah sejak kelas 6 SD. Jika kalian kemari, kalian mungkin bisa melihat rumah-rumah gedong bertingkat, berlantai keramik. Tentu, mereka orang kaya. Pekerjaan mereka adalah pegawai negeri, pensiunan kantor pemerintah atau pengurus partai politik tertentu. Gaji mereka banyak? Mungkin, mana aku tahu? Sebagian mereka juga pengusaha. Kalian bisa lihat konter-konter hape di depan rumah mereka, atau kafe itu (milik Bu Farida, wakil kepala sekolah MTs Negeri Bandar), atau salon milik Nyonya Annah? Tapi, pernahkah kalian mencoba berjalan masuk ke dalam gang-gang di balik beberapa rumah gedong itu? Sederetan rumah dari anyaman bambu beratap rumbia dapat kau temui. Kebanyakan mereka adalah pekerja serabutan: kuli bangunan, kuli tani (seperti ayahku, yang bekerja di ladang jagung Haji Sanusi), tukang becak, bahkan banyak janda; janda ditinggal mati dan janda ditinggal kawin lagi. Banyak.
Paradoks, bukan? Tak usah dijawab, karena aku yakin di daerah manapun di negara kita ini juga banyak paradoks serupa kampungku.
Menanggungkan sempitnya lapangan kerja di Bandar, juga di Perdagangan, kota perbatasan kampungku, ditambah pendidikan yang rendah (lagi-lagi karena miskin!) para pemuda nagori ini gemar berpetualang keluar nagori. Sebagian berhasil, sebagian tidak. Mereka yang gagal dan kembali berubah menjadi preman, meresahkan warga, meresahkan anak-anak gadis yang mereka goda.
Pagi itu, tanggal 1 Ramadhan. Tentu, seperti orang Islam yang lain, kami juga puasa. Tidak pun bulan Ramadhan, kami juga sering puasa. Bukan karena melaksanakan puasa sunnah. Tidak, tidak. Tapi karena kami tidak punya banyak uang. Hasil panen jagung ladang Haji Sanusi tidak begitu banyak. Cuaca tidak menentu, kadang hujan, kadang panas. Ah, hampir tiap hari hujan. Sehingga ladang-ladang itu, yang terletak di pinggir sungai Lombang, sering terendam air.
Pagi itu, seharusnya kami menikmati hari pertama Ramadhan kami dengan suka cita. Kami; ayah, ibu, Anggi, dan aku. Tapi, Allah hendak menguji kami dengan memanggil ibu ke haribaan-Nya. Seperti yang kubilang tadi, TBCnya sudah kronis. Tidak pernah diobati. Dan juga, kelaparan-kelaparan yang mendera hari-hari kami.. Mungkin Allah hendak melepaskan kesengsaraan di jiwa dan raga ibu.
****
Ramadhan 1 tahun yang lalu
“Yah, Ayah mau pergi ke mana?” rengek Anggi –yang sebentar lagi nasibnya akan seperti aku: putus sekolah, tidak melanjut ke SMP- menari-narik gamis ayah.
Ayah tak hirau sambil terus memasukkan baju-baju gamisnya dan buku-buku yang selalu dibacanya tiap malam.
Aku yang baru pulang sebentar dari kafe Bu Farida ikut bertanya juga setelah meletakkan kuah soto (hanya kuahnya) ke mangkok.
“Ayah mau khuruj lagi? Berapa hari, Yah?”tanyaku.
“Tidak lama,”katanya.
“Tiga hari?”dia menggeleng. “Tujuh?”tetap menggeleng.
“Dua minggu?”aku terus menyebut jumlah hari di mana ayah paling lama keluar (menurut istilah kelompok pengajian ayah: khuruj, seperti kubilang tadi), berdakwah katanya. Dan dia tetap menggeleng.
“Cuma sebentar,” katanya lagi. Aku paham sifat ayah. Kalau dia mau mengatakan, akan dia katakan. Kalau tidak, dia akan tetap diam, bagaimanapun kita berusaha mengoreknya. Dan jawaban cuma sebentar itu sudah cukup baginya.
“Ayah pergi. Assalamualaikum,” dan dia pergi sambil dibonceng kawannya yang memang telah biasa menjemputnya.
Hmpffff… Aku menarik nafas berat. Sudah hampir satu tahun ayah ikut pengajian yang sering pergi-pergi itu. Aku tidak tau apa nama pengajian dia. Yang aku tahu, semenjak dia ikut pengajian itu, dan pekerjaannya di ladang diambil alih oleh bapaknya si Putra. Kalian bisa bayangkan bagaimana kami makan kalau ayah pergi? Jadi, aku melamar kerja di kafe Bu Farida, sebagai pelayannya. Kebetulan, kak Dian yang dulu kerja di situ pergi ke Arab menjadi TKW. Nefi, anak Bu Farida yang temanku sedari SD yang menawarkan. Yah, gajinya lumayan buat makan. Terkadang Kak Desi, anak pertama Bu Farida, kakaknya Nefi, sering memberiku kuah soto.
“Ayah lama nggak ya kak, perginya?”Anggi mendongak ke arahku.
“Nggak taulah, dek.”
“Anggi nggak suka sendirian di rumah. Apalagi udah nggak ada ibu. Malampun kakak nggak sempat ngajarin Anggi ngaji. Nggak kayak dulu.”keluhnya, seolah memuntahkan beban di dada selama ini. Kuelus kepalanya. Bukannya aku tidak sedih. Tapi pekerjaan di kafe Bu Ida menuntutku untuk kerja sampai larut malam. Ketika pulang, kulihat Anggi selalu terlelap di depan pintu. Menungguku. Air mataku selalu menetes melihat adik kecilku itu.
“Kan ada kawan-kawan main? Si Tika, Putra, Muti…”
“Haaaah….”sekali lagi ia melepaskan beban di dadanya.
“Mereka sekarang udah main hapeeee kerjanya. Kalau nggak, main Pe-Es. Kak Tika senang ketawa-ketawa sama cowoknya di bawah pohon jambu Pak Bahar.”
Pedih rasanya. Adikku tidak diterima di pergaulannya. Memang aneh orang-orang sini. Miskin ya miskin juga. Anaknya tidak sekolah juga. Tapi hape dia punya. Ada yang berkamera lagi. Daripada beli hape, mending aku menyekolahkan Anggi tinggi-tinggi.
“Jadi Anggi ngapainlah, dek?”tanyaku, sambil menggandengnya ke dapur, untuk makan siang. Dia senang sekali melihat kuah soto yang kubawa.
“Yaaa nemenin kak Tika. Kadang-kadang diajak ngobrol sama Pak Bahar.”
Oh, hanya bulatan kecil yang terbentuk dari mulutku. Mudah-mudahan adikku tidak kegentian seperti si Tika yang baru 13 tahun itu. Mana cowoknya Bapak-bapak, lagi. Temannya Pak Bahar. Sudah beristri pula.
“Nggak usah sama kak Tika lagi lah, dek.”
“Tapi Pak Bahar senang ngasih Anggi makanan kak. Enak-enak, lagi.”
Aku diam. Kasihan adikku. Jarang makan yang enak. Ah, aku berbaik sangka saja. Pak Bahar itu punya empat anak, laki-laki semua. Mungkin dia menganggap Anggi anaknya perempuan. Mungkin saja, kan?
Dan sudah lebih satu bulan Ayah belum pulang-pulang dari pengajiannya. Ini sudah hari keempat puluh dia pergi. Lebaran kami lewati tanpanya. Malam takbiran kami tidak bergembira seperti orang-orang di luar sana yang berkonvoi naik truk warna-warni. Tapi tangisan rindu pada ayah dan ibu yang mengisi rumah reot ini.
Ketika aku baru pulang kerja hari pertamaku setelah libur lebaran, kudapati ayah yang sedang bersiap-siap pergi salat zuhur.
“Ayah!”aku berlari memeluknya. Menangis. Kupanggil Anggi yang sedang makan kue bersama Tika, pacarnya, dan Pak Bahar.
“Dek! Ayah pulang, dek!” kami berlari-lari menuju rumah.
“Mana, kak?”tanya Anggi kecewa menemukan tidak ada siapa-siapa di rumah.
Azan berkumandang. Mesjid. Tentu saja dia ke mesjid. Kami hanya terduduk di samping sebuntelan pakaian kotor ayah. Baju kotor 40 hari. Dia selalu ke masjid dari subuh sampai isya. Hanya di rumah ketika waktu duha dan ba’da isya. Begitulah yang diajarkan pengajiannya?
Kubawa pakaian kotor ayah ke Lombang untuk dicuci. Anggi pergi main lagi. Ketika aku sedang mencuci separuhnya, Nefi berlari-lari ke arahku.
“Yun, ada lowongan kerja di Pasar Malam! Nyuci piring di tukang bakso.” selama seminggu Lebaran, di kampung kami memang selalu ada pasar malam. Dia duduk di bawah pohon sambil mengatur napasnya yang terengah-engah. Satu-satunya teman baikku ini selalu suka memberitahuku kalau-kalau ada lowongan kerja. Karena ia tau keadaan kami.
“Gajinya?”tanyaku, agak tertarik.
“Lumayan, dua puluh ribu satu malam.” Senyumnya terkembang. Aku menimbang-nimbang.
“Kerjaanku di kafe mamamu, bagaimana?”
“Kata mama, nggak pa-pa. Biar aku dan kak Desi yang gantikan. Upahmu kerja di kafe juga nggak dipotong, kok.”
Aku memeluk Nefi dan mengucapkan banyak-banyak terima kasih pada sahabatku ini. Entah bagaimana aku membalas jasanya.
Yah, gaji yang sepadan dengan pekerjaannya. Pasar malam ini baru tutup setelah jam dua dini hari. Sedangkan kalau di kafe, jam sebelas paling lama aku sudah di rumah. Tapi lumayanlah tambahannya, buat beli baju baru Anggi. Tak apalah baju lebarannya terlambat. Kubayangkan senyum manis Anggi dengan baju barunya….
****
Ramadhan, tahun ini
Memang kehidupan kami agak membaik setelah aku bekerja di kafe Bu Ida. Setidaknya hari-hari kami tidak dipenuhi puasa lagi, ataupun makan dengan lauk garam. Kurasa Anggipun bisa melanjutkan sekolahnya sampai tinggi. Meskipun untuk itu aku jarang bertemu dengannya karena seharian bekerja di kafe Bu Ida.
Ayah? Dia masih selalu menghabiskan waktunya seharian di masjid. Mungkin dia lupa masih punya anak bernama Yuyun dan Anggi. Terserahlah.
Ramadhan tahun ini, beda. Pasar malam tidak hanya digelar pas lebaran saja. Tapi Ramadhan ini sampai nanti seminggu lebaran. Kubayangkan lembar-lembar uang yang kuterima upah mencuci piring warung bakso. Anggi dan aku bisa memakai baju baru untuk salat Ied nanti. Ayah? Baiklah kubelikan dia lobe dan baju koko satu.
Ada yang aneh dengan tetangga-tetangga kami setiap aku pulang ke rumah sehabis kerja di kafe. Mereka berbisik-bisik. Bu Yati, yang sedang ngumpul-ngumpul bersama ibu-ibu lain memanggilku.
“Yun, bilangin tuh adik kamu! Jangan suka ngerebut suami orang!” cecarnya disertai tatapan jijik dari ibu-ibu lain.
“Kok ibu ngomong gitu? Maksudnya apa?” tanyaku tidak mengerti.
“Haah…pura-pura nggak ngerti. Kakaknya “jualan daging” di Pasar Malam, adiknya ngerebut suami orang.” Sambar Bu Minah.
“Anggi pacaran sama Pak Bahar, Yun. Kamu kakaknya masak nggak tau? Istri Pak Bahar sudah lama minggat ke rumah orang tuanya sama empat anaknya di Medan,” perkataan Nek Ijah yang tenang dan tidak emosional itu, bagiku seperti petir di siang bolong.
“Malah katanya si Anggi lagi hamil, tuh!” tambah Bu Yati yang hampir membuatku mati berdiri.
Aku berlari ke rumah. Menjumpai ayah yang hendak berangkat khuruj.
“Yah, Ayah dengar kata orang-orang tentang adek, Yah?” dia hanya mengangguk.
“Ah, sudah takdir Allah. Kita bisa apa, Yun,” sambil berkata begitu ia naik ke boncengan motor kawannya, dan tak lupa: “Assalamualaikum”. Katanya.
Menjawab salamnya, aku hampir tak bisa. Tenggorokanku tercekat. Berlari aku menuju rumah Pak Bahar. Melihatnya sedang makan lollipop, tertawa-tawa mesra di pangkuan laki-laki tua itu. Bahkan Pak Bahar tak segan-segan mencium pipinya!
“Anggiiiiiiiiiiiiiiii!!!!!” jeritku tak tertahankan lagi.
Lollipopnya jatuh.
“Kakak?”
Aku menampari laki-laki itu. Anggi hendak mencegah. Aku berbalik padanya dan memukulinya. Dia, adikku semata wayang, menangis.
Aaaaaaah…..! Jeritku lagi. Orang-orang berhamburan melihat kami.
Ini salah Ayah! Tidak! Ini salah si Tika yang sering mengajaknya! Ini salah Pak Bahar tua itu! Tidak, tidak! Ini…ini…ini salahku? Salahku??
Anggi memelukku yang jatuh terduduk. Menangis dan tertawa seperti orang gila.
“Kak, Pak Bahar janji mau menikahi Anggi, kak. Kakak nggak perlu kerja lagi. Kita nanti kaya kak. Dan kakak bentar lagi akan punya ponakan…” bisiknya sambil menangis. Mungkin antara merasa bersalah dan bahagia karena akan melepaskan ‘beban’ku. Mungkin sebentar lagi aku akan gila. Entahlah.
****
* Penulis adalah sekretaris departemen Humas KAMMI Daerah Sumut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar