Jumat, 23 Oktober 2009

Detik-detik Menjelang 18 November 2009

Written: @my fb-notes, Wednesday, 21 October 2009, 9.58 pm

Tanggal di jdl adl tgl di mana, insya Alloh, aku wisuda dr kmps "tercinta" IAIN SU. sebelum benar2 balek ke kampong halaman, ada hal yang mesti kuniatkan untuk betul2 terlaksana:
1. berkontribusi di Humas KAMMI Daerah SU
yang pertama ini,,,,sebenarnya sungguh berat (ambigu). berat, karena aku sprny hmpr2 "tewas" menerima amanah sebagai sekdep, dan berat, karena, KAMMI adalah salah satu vena dalam hidupku, jadi, meninggalkannya, seperti memutus salah satu urat di tangan...
aku sadar, aku tlah berdosa menyia2kan amanah teman2 di KAMDA (esp. Humas). maaf, kata MAAF memang akhirnya harus terucap.. teman, aku kan katakan aku tak sanggup menjanjikan kontribusi yang "wah" buat kalian. mungkinpun, malah segunungsamudra kekecewaan kuhadiahkan buat kalian. tapi, Dear Alloh, aku berharap Kau sudi memberiku kekuatan dan kesempatan untuk "meninggalkan sesuatu" di sebuah tempat yang sangat kucintai 4 tahun terakhir ini: Humas KAMMI (komsat dan Daerah, coz they where i was and belonging now). aku harap, teman2 di humas tidak ber"nasib" sama dengan siti khodijah yang lalai dan abai ini...Amiin
2. Munaqasyah (sidang skripsi) segera!
bagiku, ukuran "nilai" ketika kuliah, sekolah, krja, and so on, ada 2: value dan score. bukannya takabur, tapi, yang kukejar hanyalah value itu. score (as: IP 4,00, naek jabatan, ranking sekian2) hanyalah ungkapan terima kasihku kepada orang tuaku dan abangku yang sudah membiayai kuliahku selama ini. munaqasyah, adalah pembuktian value dan score-ku sekaligus. Ya Alloh, berilah aku kekuatan dan kesempatan untuk berbakti kepada ummi dan babah, aak, dan ode, dengan wisudanya, seorang siti khodijah lubis 18 November 2009. amiin
3. Meliqo-kan adik2ku yg sekarang (msh mentoring) dan memberi mereka penggantiku yang lebih baik
Aku sadar, aku bukan pementor yang baik, lalai, bukan uswah yang hasanah. namun ya Alloh, berilah aku kekuatan dan kesempatan agar aku tidak menjadikan mereka "generasi kecewa" sehingga mereka "lalai" dan abai dari jamaah ini. Ya Rabb, beri aku kesempatan agar mereka bangga dan bahagia menyebut "Itu kakak kami!" ketika mereka bertemu denganku...Amiin.
4. Berpisah dengan ahsan dengan semua teman2 di Medan
Wordless, speechless. bahkan membayangkan "perpisahan" itu sendiri telah mengiris-iris jiwa....

Allahumma Rabbana, perkenankanlah harapan hamba. Amiin

Senin, 10 Agustus 2009

Where The Destiny Takes Me...

Akhirnya aku curhat juga di sini. pfff.. Kupikir tidak akan pernah ;-)
Betapa kesedihan-kesedihan sepertinya menderaku.
1. Ketika itu aku sibuk di KAMMDA ditambah lagi revisi proposalku ke PS1, sehingga aku belum mengeprint KHS semester 8
2. Ketika semua telah selesai, ternyata printer di Jurusan dibawa oleh bagian keuangan
3. Seminggu berlalu, dan ternyata, belum dikembalikan juga printer itu!
4. Akhirnya....KHSku kembali juga, tapi....
5. Pembimbing Akademisku sakit, diopname, jadinya dia tidak bisa menandatangani KHS dan blanko transkrip nilaiku....
6. Seminggu berlalu, 3 hari lagi bayar SPP, PA-ku belum ke kampus2 juga. Bosan sudah selama dua minggu bolak-balik ke kampus, bertanya kepada penjaga perpus: "Bu Zu****h-nya, ada, kak?" yang dijawab ketus: "Nggak!"
7. Pagi ini, dengan mengumpulkan segenap keberanian di dada kutelepon dia:
DJ: bu, maaf mengganggu sebelumnya. saya dije, mahasiswa yang PA-nya ibu, perlu tanda tangan KHS
PA: saya mau pergi
DJ; kapan ibu ke kampus?
PA: Jum'at
DJ: bisa ketemunya kapan ya, bu? bentar lagi kan mau bayar SPP, sa....
cklek..tut..tut..tut..
Ya Allah, dia menutup telepon itu secara sepihak!
tidak taukah dia, bahwa nilai Rp 150.000,- itu sangat berarti bagiku?
(Begini saudara2. Kalau kami mengurus surat bersih mata kuliah dan non aktif, maka uang kuliah dipotong 50%, uang kuliah kami Rp 300.000,-, jadi seharusnya aku bisa bayar separuhnya, karena AKU NGGAK PERNAH DAPAT C, APALAGI, D DAN E PADA SEMUA MATA KULIAHKU, jadi secara de facto, aku layak bayar separoh. namun secara de jure, nasib berkata lain karena hal yang bertele-tele -administrasi kampus IAIN SU ini....- dan lumayan sepele ini -cuma sebiji tanda tangan di transkrip nilai!!!!!!)
Tanpa tanda tangan PA, maka tidak ada transkrip nilai, tanpa transkrip nilai, tidak ada surat bersih mata kuliah, tanpa surat bersih mata kuliah, tidak ada surat non aktir kuliah, tanpa surat non aktif kuliah, TIDAK ADA BAYAR UANG KULIAH SEPAROH...

Ya Allah, ya Rabb, hanya kepada-Mu lah kuserahkan nasibku. kuyakin Engkaulah yang maha tahu yang terbaik buat hamba-Mu ini... Tapi ya Allah, kumohon, bantulah hamba-Mu ini, agar aku dapat meringankan beban orang tuaku di kampung. Pahamkanalah Miss Zu****h itu, bahwa 150ribu itu means a lot bagi saya. Amiin.

HUKUMAN BUAT SANG USTADZ

Mungkin kalian tidak akan percaya jika membaca kisah ini. Namun kisah ini benar adanya.
Saya mempunyai seorang teman, sebut saja namanya Hilwa. Sewaktu Aliyah dulu, dia tinggal di pesantren. Di pesantren itu, Hilwa mempunyai seorang ustadz, sebut saja Ustadz Zen. Ustadz Zen adalah ustadz yang baik, saleh, dan cerdas. Bahkan dia seorang lulusan Mesir.
Ada satu hal yang aneh pada diri ustadz. Bila ia membaca kitab fiqh, maka pandangannya akan “gelap”. Gelap di sini bukan berarti ketika ia membuka kitab fiqh itu, maka lembaran-lembarannya akan berubah menjadi hitam. Bukan sama sekali. Namun, maksudnya, kalau ustadz membaca kitab fiqh (siapapun pengarangnya), maka dia akan susah sekali menangkap maksud dari kitab itu. Bahkan sekuat apapun ustadz Zen memaksakan otaknya untuk berkonsentrasi, maka tetaplah ia tidak dapat menangkap isi kitab fiqh tersebut.
Tentu Hilwa dan teman-temannya bertanya-tanya apa yang menyebabkan gelapnya pandangan ustadz ketika membaca kitab fiqh. Maka, ustadzpun bercerita:
Dulu ketika ustadz masih nyantri di pesantren, ustadz lumayan nakal, meski tetap diakui beliau cerdas. Ustadz Zen muda punya seorang ustadz di pesantrennya, seorang guru mata pelajaran fiqh, sebut saja Buya. Buya ini adalah seorang ustadz yang sederhana. Kesederhanaan Buya sering dijahili oleh ustadz Zen muda.
Contohnya saja, Buya mempunyai tas tempat ia menyimpan buku-buku yang dibawanya ketika mengajar. Tas itu tidak seperti tas guru kebanyakan yang biasanya terbuat dari kulit. Tapi tas itu terbuat dari goni plastik, seperti tas yang sering dibawa ibu-ibu ketika belanja di pasar. Buya sering menyuruh murid-muridnya untuk membawakan tas itu ke ruang kelas.
“Zen, tolong bawakan tas Buya ke kelas, ya,” pintanya.
Ustadz Zen muda patuh membawanya ke kelas. Tapi, apa yang dilakukannya pada tas itu? Tas itu digantungkannya pada paku di atas dinding, bukan di atas meja guru.
“Mana tas saya, Zen?” tanya Buya ketika tiba di kelas.
“Tuh,” tunjuk Zen muda pada dinding kelas. Sontak seisi kelas menertawai Buya. Buya hanya tersenyum tipis dengan muka memerah menahan malu sambil menurunkan tasnya.
Lain waktu, ketika Buya hendak pulang dengan motor butut kesayangannya (sejenis motor Astuti –astrea tujuh tiga, jadul bangetlah pokoknya!), Zen dan kawan-kawan melintas.
“Mogok ya, Buya?” tanya Zen ketika melihat Buya mengengkol motornya, susah payah. Buya hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Mau korek, nggak Buya?” (maksudnya biar dibakar sekalian saja motornya) timpal Zen lagi, disambut gerrr kawan-kawannya. Lagi-lagi, Buya hanya tersenyum.
Suatu ketika Zen lulus Aliyah, ia mendaftarkan diri kuliah di Mesir…dan lulus! Zen sangat bersyukur dan ingin pamitan sekaligus meminta restu kepada ustadz-ustadz di pesantrennya, termasuk….Buya.
Tibalah giliran Buya disalami Zen. Sambil menangis, karena mengingat kebandelannya dulu, Zen meminta maaf kepada Buya.
“Buya, lapangkanlah hati Buya untuk menerima maaf Zen. Zen benar-benar menyesal atas kenakalan Zen dulu, Buya. Zen minta doa Buya mengiringi Zen pergi ke Mesir,” sesal Zen sungguh-sungguh.
Buya pun mengangguk-angguk sambil melelehkan airmatanya pula.
“Iya, nak. Sebelum kau minta maaf pun, sudah Buya maafkan dirimu sedari dulu,” ujar Buya sambil mengelus pundaknya.
Zen pun pergi ke Mesir dengan membawa doa restu ustadz-ustadz di pesantrennya dulu. Tapi, ada satu keanehan terjadi pada dirinya.
Bilamana ia membaca kitab fiqh, ia sulit…sekali menangkapnya dan menyimpannya di memori. Padahal sepertinya sudah dikerahkan seluruh kemampuan otaknya untuk memindai seluruh tulisan-tulisan di kitab itu. Anehnya lagi, kejadian ini tidak berlaku pada mata pelajaran yang lain. Pada mata pelajaran lain, dengan mudah Zen menangkapnya ketika membaca buku yang bersangkutan. Hanya pada mata pelajaran fiqh lah, Zen benar-benar “gelap” saat membaca buku-bukunya, karangan ulama manapun. Dan hal itu tetap berlangsung sampai sekarang.
Hilwa berkata bahwa mereka benar-benar melihat airmata ustadz Zen mengalir ketika menceritakan kisahnya kepada Hilwa dan teman-teman sekelas, menandakan bahwa ustadz tidaklah main-main atas kisahnya ini.
Terkadang ketika kita menyakiti hati seseorang kita tidak menyadari ada ‘sesuatu’ yang telah benar-benar tergores pada dirinya. Buya, adalah sosok yang sederhana, tawadhu’, dan ikhlas. Hilwa bilang, mungkin Allah sangat menyayangi Buya, sehingga, ketika ‘sesuatu’ itu tergores, menyebabkan Allah marah. Dan, hukumannya bisa berupa apa saja. Meskipun kata Buya, ia telah sungguh-sungguh menerima maaf Zen. Tapi, ‘sesuatu’ telah tergores pada dirinya.
Selama ini mungkin kita suka menyakiti hati seseorang, baik lewat tindakan kita maupun lewat ucapan. Dan kita mungkin tidak pernah berpikir apakah orang itu akan cepat melupakan kesalahan kita itu, dan lantas memaafkan, atau tidak. Karena, meminta maaf pada saat kesalahan itu terjadi pun, belum tentu pernah. Kita tidak pernah tahu, apakah Allah akan segera membalas perbuatan kita itu, atau menundanya di akhirat. Kita juga tidak akan pernah tahu, apakah kita akan sanggup menanggung hukuman dari Allah itu, atau tidak. Terlebih-lebih bila orang yang kita sakiti itu adalah orang yang seharusnya kita hormati (orang tua, guru, murabbi, dll). Yah, sebaiknya kita memang memikirkan dahulu akibat perbuatan kita, sebelum kita melakukannya.

Ramadhan Tahun Ini

Oleh: Siti Khodijah Lubis*

Seperti tidak percaya aku melihatnya di rumah itu. Persis seperti dikatakan Nek Ijah, Bu Yati, dan orang-orang yang lewat ketika aku baru pulang kerja, dua minggu lamanya di Pasar Malam. Dia kini duduk di atas pangkuan laki-laki itu. Dengan permen lollipop di mulutnya. Laki-laki itu tertawa-tawa bersamanya. Tawa serigala. Laki-laki itu….pacarnya??!
Permen lollipop itu jatuh ke lantai marmer putih teras rumahnya ketika dengan sekuat tenaga aku menjerit: memanggil namanya.
****
Ramadhan 2 tahun yang lalu
Bukannya aku tak menyangka ia akan pergi secepat ini. Memang penyakit TBC yang dideritanya sudah kronis.
“Kenapa tidak dibawa ke puskesmas saja? Kan katanya gratis?” kata Bu Aminah, ketua perwiritan ibu-ibu Nagori Bandar, kampong kami.
Aku menarik napas. Tidak menjawab. Dia tidak tahu, apa pura-pura tidak tahu? Puskesmas yang letaknya di belakang balai desa itu seperti kandang kambing saja. Sudah hampir 8 tahun tidak ada petugas kesehatan yang mengabdi di sana. Jangan coba-coba sarankan kami membawa dia, ibuku, ke klinik, rumah sakit, atau dokter praktek! Jangankan untuk biaya periksa, ongkos ke sana pun kami tak punya. Makan dua kali sehari sudah untung bagi kami.
Kusapukan pandangan ke seluruh rumah. Duduk di dekat pintu, ayah, diam dengan tatapan kosong. Ayah selalu diam dalam menghadapi masalah apapun. Para tetamu dan tetangga hilir mudik, dating dan pergi. Di sampingku, Anggi, adikku satu-satunya menyeka air mata dan ingusnya dengan jilbabku. Sedari tadi aku hanya mampu menepuk-nepuk punggungnya, tanpa bisa berkata apa-apa. Anak kelas 5 SD ini, paling kehilangan dengan kepergian ibu. Sementara air terus mengalir membajiri kelopak mataku. Kesedihan ini terlalu mendalam.
Kemiskinan ini… Nagori Bandar yang sunyi… Kampung yang terletak di pinggiran jalinsum (jalan lintas Sumatra) di Kabupaten Simalungun ini adalah kampung yang cukup paradoks bagiku, Yuyun, umur 14 tahun, putus sekolah sejak kelas 6 SD. Jika kalian kemari, kalian mungkin bisa melihat rumah-rumah gedong bertingkat, berlantai keramik. Tentu, mereka orang kaya. Pekerjaan mereka adalah pegawai negeri, pensiunan kantor pemerintah atau pengurus partai politik tertentu. Gaji mereka banyak? Mungkin, mana aku tahu? Sebagian mereka juga pengusaha. Kalian bisa lihat konter-konter hape di depan rumah mereka, atau kafe itu (milik Bu Farida, wakil kepala sekolah MTs Negeri Bandar), atau salon milik Nyonya Annah? Tapi, pernahkah kalian mencoba berjalan masuk ke dalam gang-gang di balik beberapa rumah gedong itu? Sederetan rumah dari anyaman bambu beratap rumbia dapat kau temui. Kebanyakan mereka adalah pekerja serabutan: kuli bangunan, kuli tani (seperti ayahku, yang bekerja di ladang jagung Haji Sanusi), tukang becak, bahkan banyak janda; janda ditinggal mati dan janda ditinggal kawin lagi. Banyak.
Paradoks, bukan? Tak usah dijawab, karena aku yakin di daerah manapun di negara kita ini juga banyak paradoks serupa kampungku.
Menanggungkan sempitnya lapangan kerja di Bandar, juga di Perdagangan, kota perbatasan kampungku, ditambah pendidikan yang rendah (lagi-lagi karena miskin!) para pemuda nagori ini gemar berpetualang keluar nagori. Sebagian berhasil, sebagian tidak. Mereka yang gagal dan kembali berubah menjadi preman, meresahkan warga, meresahkan anak-anak gadis yang mereka goda.
Pagi itu, tanggal 1 Ramadhan. Tentu, seperti orang Islam yang lain, kami juga puasa. Tidak pun bulan Ramadhan, kami juga sering puasa. Bukan karena melaksanakan puasa sunnah. Tidak, tidak. Tapi karena kami tidak punya banyak uang. Hasil panen jagung ladang Haji Sanusi tidak begitu banyak. Cuaca tidak menentu, kadang hujan, kadang panas. Ah, hampir tiap hari hujan. Sehingga ladang-ladang itu, yang terletak di pinggir sungai Lombang, sering terendam air.
Pagi itu, seharusnya kami menikmati hari pertama Ramadhan kami dengan suka cita. Kami; ayah, ibu, Anggi, dan aku. Tapi, Allah hendak menguji kami dengan memanggil ibu ke haribaan-Nya. Seperti yang kubilang tadi, TBCnya sudah kronis. Tidak pernah diobati. Dan juga, kelaparan-kelaparan yang mendera hari-hari kami.. Mungkin Allah hendak melepaskan kesengsaraan di jiwa dan raga ibu.
****
Ramadhan 1 tahun yang lalu
“Yah, Ayah mau pergi ke mana?” rengek Anggi –yang sebentar lagi nasibnya akan seperti aku: putus sekolah, tidak melanjut ke SMP- menari-narik gamis ayah.
Ayah tak hirau sambil terus memasukkan baju-baju gamisnya dan buku-buku yang selalu dibacanya tiap malam.
Aku yang baru pulang sebentar dari kafe Bu Farida ikut bertanya juga setelah meletakkan kuah soto (hanya kuahnya) ke mangkok.
“Ayah mau khuruj lagi? Berapa hari, Yah?”tanyaku.
“Tidak lama,”katanya.
“Tiga hari?”dia menggeleng. “Tujuh?”tetap menggeleng.
“Dua minggu?”aku terus menyebut jumlah hari di mana ayah paling lama keluar (menurut istilah kelompok pengajian ayah: khuruj, seperti kubilang tadi), berdakwah katanya. Dan dia tetap menggeleng.
“Cuma sebentar,” katanya lagi. Aku paham sifat ayah. Kalau dia mau mengatakan, akan dia katakan. Kalau tidak, dia akan tetap diam, bagaimanapun kita berusaha mengoreknya. Dan jawaban cuma sebentar itu sudah cukup baginya.
“Ayah pergi. Assalamualaikum,” dan dia pergi sambil dibonceng kawannya yang memang telah biasa menjemputnya.
Hmpffff… Aku menarik nafas berat. Sudah hampir satu tahun ayah ikut pengajian yang sering pergi-pergi itu. Aku tidak tau apa nama pengajian dia. Yang aku tahu, semenjak dia ikut pengajian itu, dan pekerjaannya di ladang diambil alih oleh bapaknya si Putra. Kalian bisa bayangkan bagaimana kami makan kalau ayah pergi? Jadi, aku melamar kerja di kafe Bu Farida, sebagai pelayannya. Kebetulan, kak Dian yang dulu kerja di situ pergi ke Arab menjadi TKW. Nefi, anak Bu Farida yang temanku sedari SD yang menawarkan. Yah, gajinya lumayan buat makan. Terkadang Kak Desi, anak pertama Bu Farida, kakaknya Nefi, sering memberiku kuah soto.
“Ayah lama nggak ya kak, perginya?”Anggi mendongak ke arahku.
“Nggak taulah, dek.”
“Anggi nggak suka sendirian di rumah. Apalagi udah nggak ada ibu. Malampun kakak nggak sempat ngajarin Anggi ngaji. Nggak kayak dulu.”keluhnya, seolah memuntahkan beban di dada selama ini. Kuelus kepalanya. Bukannya aku tidak sedih. Tapi pekerjaan di kafe Bu Ida menuntutku untuk kerja sampai larut malam. Ketika pulang, kulihat Anggi selalu terlelap di depan pintu. Menungguku. Air mataku selalu menetes melihat adik kecilku itu.
“Kan ada kawan-kawan main? Si Tika, Putra, Muti…”
“Haaaah….”sekali lagi ia melepaskan beban di dadanya.
“Mereka sekarang udah main hapeeee kerjanya. Kalau nggak, main Pe-Es. Kak Tika senang ketawa-ketawa sama cowoknya di bawah pohon jambu Pak Bahar.”
Pedih rasanya. Adikku tidak diterima di pergaulannya. Memang aneh orang-orang sini. Miskin ya miskin juga. Anaknya tidak sekolah juga. Tapi hape dia punya. Ada yang berkamera lagi. Daripada beli hape, mending aku menyekolahkan Anggi tinggi-tinggi.
“Jadi Anggi ngapainlah, dek?”tanyaku, sambil menggandengnya ke dapur, untuk makan siang. Dia senang sekali melihat kuah soto yang kubawa.
“Yaaa nemenin kak Tika. Kadang-kadang diajak ngobrol sama Pak Bahar.”
Oh, hanya bulatan kecil yang terbentuk dari mulutku. Mudah-mudahan adikku tidak kegentian seperti si Tika yang baru 13 tahun itu. Mana cowoknya Bapak-bapak, lagi. Temannya Pak Bahar. Sudah beristri pula.
“Nggak usah sama kak Tika lagi lah, dek.”
“Tapi Pak Bahar senang ngasih Anggi makanan kak. Enak-enak, lagi.”
Aku diam. Kasihan adikku. Jarang makan yang enak. Ah, aku berbaik sangka saja. Pak Bahar itu punya empat anak, laki-laki semua. Mungkin dia menganggap Anggi anaknya perempuan. Mungkin saja, kan?
Dan sudah lebih satu bulan Ayah belum pulang-pulang dari pengajiannya. Ini sudah hari keempat puluh dia pergi. Lebaran kami lewati tanpanya. Malam takbiran kami tidak bergembira seperti orang-orang di luar sana yang berkonvoi naik truk warna-warni. Tapi tangisan rindu pada ayah dan ibu yang mengisi rumah reot ini.
Ketika aku baru pulang kerja hari pertamaku setelah libur lebaran, kudapati ayah yang sedang bersiap-siap pergi salat zuhur.
“Ayah!”aku berlari memeluknya. Menangis. Kupanggil Anggi yang sedang makan kue bersama Tika, pacarnya, dan Pak Bahar.
“Dek! Ayah pulang, dek!” kami berlari-lari menuju rumah.
“Mana, kak?”tanya Anggi kecewa menemukan tidak ada siapa-siapa di rumah.
Azan berkumandang. Mesjid. Tentu saja dia ke mesjid. Kami hanya terduduk di samping sebuntelan pakaian kotor ayah. Baju kotor 40 hari. Dia selalu ke masjid dari subuh sampai isya. Hanya di rumah ketika waktu duha dan ba’da isya. Begitulah yang diajarkan pengajiannya?
Kubawa pakaian kotor ayah ke Lombang untuk dicuci. Anggi pergi main lagi. Ketika aku sedang mencuci separuhnya, Nefi berlari-lari ke arahku.
“Yun, ada lowongan kerja di Pasar Malam! Nyuci piring di tukang bakso.” selama seminggu Lebaran, di kampung kami memang selalu ada pasar malam. Dia duduk di bawah pohon sambil mengatur napasnya yang terengah-engah. Satu-satunya teman baikku ini selalu suka memberitahuku kalau-kalau ada lowongan kerja. Karena ia tau keadaan kami.
“Gajinya?”tanyaku, agak tertarik.
“Lumayan, dua puluh ribu satu malam.” Senyumnya terkembang. Aku menimbang-nimbang.
“Kerjaanku di kafe mamamu, bagaimana?”
“Kata mama, nggak pa-pa. Biar aku dan kak Desi yang gantikan. Upahmu kerja di kafe juga nggak dipotong, kok.”
Aku memeluk Nefi dan mengucapkan banyak-banyak terima kasih pada sahabatku ini. Entah bagaimana aku membalas jasanya.
Yah, gaji yang sepadan dengan pekerjaannya. Pasar malam ini baru tutup setelah jam dua dini hari. Sedangkan kalau di kafe, jam sebelas paling lama aku sudah di rumah. Tapi lumayanlah tambahannya, buat beli baju baru Anggi. Tak apalah baju lebarannya terlambat. Kubayangkan senyum manis Anggi dengan baju barunya….
****
Ramadhan, tahun ini
Memang kehidupan kami agak membaik setelah aku bekerja di kafe Bu Ida. Setidaknya hari-hari kami tidak dipenuhi puasa lagi, ataupun makan dengan lauk garam. Kurasa Anggipun bisa melanjutkan sekolahnya sampai tinggi. Meskipun untuk itu aku jarang bertemu dengannya karena seharian bekerja di kafe Bu Ida.
Ayah? Dia masih selalu menghabiskan waktunya seharian di masjid. Mungkin dia lupa masih punya anak bernama Yuyun dan Anggi. Terserahlah.
Ramadhan tahun ini, beda. Pasar malam tidak hanya digelar pas lebaran saja. Tapi Ramadhan ini sampai nanti seminggu lebaran. Kubayangkan lembar-lembar uang yang kuterima upah mencuci piring warung bakso. Anggi dan aku bisa memakai baju baru untuk salat Ied nanti. Ayah? Baiklah kubelikan dia lobe dan baju koko satu.
Ada yang aneh dengan tetangga-tetangga kami setiap aku pulang ke rumah sehabis kerja di kafe. Mereka berbisik-bisik. Bu Yati, yang sedang ngumpul-ngumpul bersama ibu-ibu lain memanggilku.
“Yun, bilangin tuh adik kamu! Jangan suka ngerebut suami orang!” cecarnya disertai tatapan jijik dari ibu-ibu lain.
“Kok ibu ngomong gitu? Maksudnya apa?” tanyaku tidak mengerti.
“Haah…pura-pura nggak ngerti. Kakaknya “jualan daging” di Pasar Malam, adiknya ngerebut suami orang.” Sambar Bu Minah.
“Anggi pacaran sama Pak Bahar, Yun. Kamu kakaknya masak nggak tau? Istri Pak Bahar sudah lama minggat ke rumah orang tuanya sama empat anaknya di Medan,” perkataan Nek Ijah yang tenang dan tidak emosional itu, bagiku seperti petir di siang bolong.
“Malah katanya si Anggi lagi hamil, tuh!” tambah Bu Yati yang hampir membuatku mati berdiri.
Aku berlari ke rumah. Menjumpai ayah yang hendak berangkat khuruj.
“Yah, Ayah dengar kata orang-orang tentang adek, Yah?” dia hanya mengangguk.
“Ah, sudah takdir Allah. Kita bisa apa, Yun,” sambil berkata begitu ia naik ke boncengan motor kawannya, dan tak lupa: “Assalamualaikum”. Katanya.
Menjawab salamnya, aku hampir tak bisa. Tenggorokanku tercekat. Berlari aku menuju rumah Pak Bahar. Melihatnya sedang makan lollipop, tertawa-tawa mesra di pangkuan laki-laki tua itu. Bahkan Pak Bahar tak segan-segan mencium pipinya!
“Anggiiiiiiiiiiiiiiii!!!!!” jeritku tak tertahankan lagi.
Lollipopnya jatuh.
“Kakak?”
Aku menampari laki-laki itu. Anggi hendak mencegah. Aku berbalik padanya dan memukulinya. Dia, adikku semata wayang, menangis.
Aaaaaaah…..! Jeritku lagi. Orang-orang berhamburan melihat kami.
Ini salah Ayah! Tidak! Ini salah si Tika yang sering mengajaknya! Ini salah Pak Bahar tua itu! Tidak, tidak! Ini…ini…ini salahku? Salahku??
Anggi memelukku yang jatuh terduduk. Menangis dan tertawa seperti orang gila.
“Kak, Pak Bahar janji mau menikahi Anggi, kak. Kakak nggak perlu kerja lagi. Kita nanti kaya kak. Dan kakak bentar lagi akan punya ponakan…” bisiknya sambil menangis. Mungkin antara merasa bersalah dan bahagia karena akan melepaskan ‘beban’ku. Mungkin sebentar lagi aku akan gila. Entahlah.
****

* Penulis adalah sekretaris departemen Humas KAMMI Daerah Sumut.

Rabu, 29 Juli 2009

Soal Bites KAMMI Koms IAIN SU 2009

MATA UJIAN: BAHASA INGGRIS KODE NASKAH: 21

PETUNJUK UMUM

  1. Sebelum mengerjakan ujian, telitilah terlebih dahulu jumlah dan nomor halaman yang terdapaqt pada naskah ujian.
  2. Tulislah nama, nomor peserta, kode naskah, dan isian lainnya pada lembar jawaban di tempat yang disediakan, sesuai dengan petunjuk yang diberikan Petugas.
  3. Bacalah dengan cermat setiap petunjuk yang menjelaskan cara menjawab soal.
  4. Pilihlah satu jawaban yang paling tepat dari kemungkinan yang tersedia, dan hitamkan () huruf pilihan Saudara pada lembar jawaban.
  5. Sistem penilaian adalah jumlah jawaban yang BENAR DIKALI SATU, jawaban yang SALAH dan TIDAK DIJAWAB TIDAK DINILAI.

READING AND COMPREHENSION

THE FINAL PROPHET

There is not better way to discover Islam than to climb Mount Hira, a few miles from Mecca. Not far from this Holy City is Medina. The ascent provides insights into the nature of Islam and its Prophet. On the bleak top the winds blow with ferocity, creating a sense of elemental power, exactly as it must have been in the seventh century. The place speaks of a man looking for solitude, of a man searching for answers. Here the Prophet suffered the agony of rejecting an old religion, an experience the ecstasy of discovering a new one. There is nothing man –made on the peak. Abruptly loneliness, then awe, and finally exaltation fill the heart. In them most profound sense one is face to face with oneself.

The cave, the Prophet’s refuge, is tiny. It points to Mecca and the haram sharif, containing the Kaaba, is faintly visible. The drop from the cave is sheer, about 2000 feet. The climb itself is steep. When the Prophet received the call of Islam, he was 40.

At the age of 40, in 610 AD, on retreat on Mount Hira he saw a vision. This was the first call. It came in the form of angel ordering him to read.

“Read!” –(iqra!), this is the first word revealed to him.

Read in the name of thy Lord who created, created man out of clot of congealed blood. Read! And thy Lord is the most Bountiful, He who taught (the use of Pen, taught man that which he knew not)”.

The Prophet was the culmination of a long line of prophets –124000 of them– many no more than good, exemplary people. He was the last, the seal, of the prophets, the final messengers of God. The Prophet did not claim divinity. They were humans entrusted by God to spread the word. The Prophet of Islam had brought the Holy Koran which was, like him, final and cumulative. The concept of the Finality of the Prophets is the basic principle and the fundamental of Islam.


For questions number 1 to 20, read the above article carefully and then choose the best answer from the following options!


1.
There is not better way to discover Islam than to climb Mount Hira,…..

A. a few kilometers from Mecca.

B. a few miles from Medina.

C. a few miles from Mecca and Medina.

D. a few miles from Mecca.

E. a few kilometers from Medina.

2. The………provides insights into the nature of Islam and its Prophet.

A. ascend

B. accent

C. action

D. access

E. ascent

3. What are the Holy Cities of Muslim?

A. Mecca

B. Mecca and Medina

C. Medina

D. Mecca and Jerusalem

E. Mecca, Medina, and Jerusalem

4. Muhammad (Peace be Upon Him), the Son of Abdullah is…

A. a Prophet and the Messenger of Allah

B. a prophet.

C. a prophetic traditions.

D. a prophet of the Muslims.

E. an Islamic prophet.

5. The Great event was happened in ….century.

A. seven

B. seventeenth

C. seventh

D. seventy

E. the seventh

6. The ….. speaks of a man looking for solitude.

A. Mount Hira

B. Cave of Hira

C. Mountain Hira

D. Palace

E. Policy

7. The small place for the Prophet’s refuge is called a…..

A. café

B. cape

C. camp

D. cavern

E. cave

8. The drop from the cave is sheer, about…..

A. 200 feet

B. 2000 feet

C. 2020 feet

D. 200 feed

E. 2000 feed

9. The Prophet was…..when he received the first call of Islam.

A. 20

B. 25

C. 40

D. 42

E. 63

10. The first revelation to the Prophet was in…..

A. 571 AD

B. 610 AD

C. 615 AD

D. 571 AD

E. 610 AD

11. The revelation came in the form of……

A. angle

B. angel

C. uncle

D. ankle

E. anger

12. Three times the Prophet said he could not read and three times the angel…..him.

A. told

B. insisted on

C. forced

D. spoke to

E. bid

13. Muhammad (Peace be Upon Him) is…………of the prophets.

A. the past, the seal

B. the last, the closure

C. the final, the seal

D. the finally, the seal

E. the less, the seal

14. The first revelation is on The Holy Koran, Surah……..Verse 1-5.

A. Al-Baqarah

B. Al-Maun

C. Al-Falaq

D. An-Nahl

E. Al-Alaq

15. A prophet received revelation from Allah for……

A. himself only

B. himself and his community

C. himself and his family

D. his family

E. all humans

16. A messenger received revelation from Allah for…….

A. himself only

B. himself and his community

C. himself and his family

D. his family

E. all humans

17. All prophets……..claim divinity.

A. does not

B. did

C. did not

D. do not

E. do

18. The prophets were humans entrusted by God……

A. to read word.

B. to spread word.

C. to spread reliligion.

D. to prophesy word.

E. to prophesy religion.

19. The angel who thought him the first word is…….

A. Malik

B. Ridwan

C. Israfil

D. Izrail

E. Jibril

20. When Muhammad (Peace be Upon Him) returned home after receiving the first word, his wife………reassured him that it was a sign that he had been chosen as a Prophet.

A. Aisha

B. Hafsa

C. Khadija

D. Fathima

E. Zuwairiya

VOCABULARY

For questions number 21 to 40, find the best words from the options that can replace the underlined words.


21.
There is not better way to discover Islam than to climb Mount Hira.

A. invent

B. find out

C. meet

D. get

E. obtain

22. The ascent provides insights into the nature of Islam and its Prophet.

A. opinions

B. ideas

C. understandings

D. thoughts

E. minds

23. The place speaks of a man looking for solitude.

A. loneliness

B. lonely

C. quiet

D. silent

E. silence

24. In the most profound sense one is face to face with onself.

A. the best

B. the strongest

C. the deepest

D. the greatest

E. the most valuable

25. The cave, the Prophet’s refuge, is tiny.

A. little

B. very little

C. small

D. very small

E. too small

26. The angel taught the Prophet, “Read!” three times.

A. recite

B. understand

C. study

D. learn

E. speak

27. The Prophet was the culmination of a long line of prophets -124000 of them- many no more than good, exemplary people.

A. sample

B. model

C. great

D. grand

E. prominent

28. They were humans entrusted by God to spread the word.

A. express

B. read

C. extend

D. distribute

E. write

29. The Prophet did not claim divinity.

A. god

B. deity

C. goddess

D. good

E. theology

30. The concept the Finalty of the Prophet is the basic principle.

A. fundamental

B. base

C. final

D. last

E. end

31. On the bleak top the winds blow with ferocity.

A. cruelty

B. cruel

C. fierceness

D. fierce

E. ferocious

32. Here the Prophet suffered the agony of rejecting an old religion.

A. declining

B. pulling

C. refusing

D. disliking

E. breaking

33. It came in the form of angel ordering him to read.

A. telling

B. speaking

C. saying

D. commanding

E. calling

34. The drop from the cave is sheer, about 2000 feet.

A. approximately

B. exactly

C. extremely

D. rarely

E. actually

35. It came in the form of angel.

A. in front of

B. in the frame of

C. in frame of

D. in the framework of

E. in the shape of

36. …..Al-Munawwarah was the first capital in Islamic state.

A. Mecca

B. Medina

C. Jeddah

D. El Riad

E. Baghdad

37. The Prophet was born in….Al-Mukarramah.

A. Baghdad

B. El Riad

C. Jeddah

D. Mecca

E. Medina

38. “Read in the name of thy Lord who created,

A. on behalf of

B. on the sign of

C. on view of

D. in the interest of

E. in relation to

39. And thy Lord is the most Bountiful.

A. Beautiful

B. Generous

C. Merciful

D. Valuable

E. Charitable

40. He who taught (the use of Pen, taught man that which he knew not)”

A. woman

B. humankind

C. boy

D. people

E. person.

GRAMMAR/STRUCTURE

For questions number 41 to 60, choose the best answer from the following options!


41. The Prophet (Peace be Upon Him) was……with Khadijah when she was 40.

A.
married

B. marry

C. marrying

D. be married

E. get married

42. Some students are very poor……mathematics, but some are good…….English.

A. in, at

B. at, with

C. with, in

D. with, at

E. at, in

43. Many Muslim people can be ……..in Xinjiang, China.

A. founded

B. find

C. finding

D. found

E. finds

44. The Satanic Verses” was……..by Salman Rushdy.

A. wrote

B. writing

C. write

D. writes

E. written

45. When my mother called my father, he…….a newspaper.

A. was read

B. was reading

C. has been reading

D. reads

E. had been reading

46. Yesterday evening, Kasim……a landscape since 12 o’clock.

A. is painting

B. had painted

C. painted

D. was painting

E. had been painting

47. By his coming yesterday, the children……

A. will sleep

B. were sleeping

C. would have been sleeping

D. would have slept

E. slept

48. By next Sunday, you ……with us for five weeks.

A. will have been staying

B. shall have been staying

C. had been staying

D. have been staying

E. will stay

49. Would you mind not…………in my room?

A. to smoke

B. smoke

C. smokes

D. smoked

E. smoking

50. All students of IAIN should………to speak English and Arabic well.

A. can

B. could

C. be able

D. must

E. may

51. I wonder why………me so much.

A. does he hate

B. he hate

C. he hates

D. is he hate

E. he is hate

52. Would you please………the window?

A. to open

B. open

C. opens

D. opening

E. opened

53. My father always enjoys…………football much on television at midnight.

A. to watch

B. watch

C. watches

D. watching

E. watched

54. If I……….you, I would ask her phone number.

A. am

B. was

C. are

D. were

E. will

55. How long have you……here?

A. to be

B. be

C. been

D. are

E. were

56. He’d better…………to school right now.

A. to go

B. go

C. goes

D. going

E. went

57. Malik: How long have you been waiting for him?

Fajar: I’ve been waiting for him………

A. since tomorrow

B. now

C. for two hours

D. for yesterday

E. from yesterday

58. The cake is……….butter, wheat flour, salt, sugar, and eggs.

A. make from

B. make of

C. making from

D. made from

E. made of

59. It is no use………..that naughty boy.

A. to advise

B. advise

C. advises

D. advising

E. advised

60. He said, “I will come here tomorrow”

He said that he…………the day after.

A. should come there

B. would have come there

C. will come there

D. come there

E. would come there