Senin, 10 Agustus 2009

HUKUMAN BUAT SANG USTADZ

Mungkin kalian tidak akan percaya jika membaca kisah ini. Namun kisah ini benar adanya.
Saya mempunyai seorang teman, sebut saja namanya Hilwa. Sewaktu Aliyah dulu, dia tinggal di pesantren. Di pesantren itu, Hilwa mempunyai seorang ustadz, sebut saja Ustadz Zen. Ustadz Zen adalah ustadz yang baik, saleh, dan cerdas. Bahkan dia seorang lulusan Mesir.
Ada satu hal yang aneh pada diri ustadz. Bila ia membaca kitab fiqh, maka pandangannya akan “gelap”. Gelap di sini bukan berarti ketika ia membuka kitab fiqh itu, maka lembaran-lembarannya akan berubah menjadi hitam. Bukan sama sekali. Namun, maksudnya, kalau ustadz membaca kitab fiqh (siapapun pengarangnya), maka dia akan susah sekali menangkap maksud dari kitab itu. Bahkan sekuat apapun ustadz Zen memaksakan otaknya untuk berkonsentrasi, maka tetaplah ia tidak dapat menangkap isi kitab fiqh tersebut.
Tentu Hilwa dan teman-temannya bertanya-tanya apa yang menyebabkan gelapnya pandangan ustadz ketika membaca kitab fiqh. Maka, ustadzpun bercerita:
Dulu ketika ustadz masih nyantri di pesantren, ustadz lumayan nakal, meski tetap diakui beliau cerdas. Ustadz Zen muda punya seorang ustadz di pesantrennya, seorang guru mata pelajaran fiqh, sebut saja Buya. Buya ini adalah seorang ustadz yang sederhana. Kesederhanaan Buya sering dijahili oleh ustadz Zen muda.
Contohnya saja, Buya mempunyai tas tempat ia menyimpan buku-buku yang dibawanya ketika mengajar. Tas itu tidak seperti tas guru kebanyakan yang biasanya terbuat dari kulit. Tapi tas itu terbuat dari goni plastik, seperti tas yang sering dibawa ibu-ibu ketika belanja di pasar. Buya sering menyuruh murid-muridnya untuk membawakan tas itu ke ruang kelas.
“Zen, tolong bawakan tas Buya ke kelas, ya,” pintanya.
Ustadz Zen muda patuh membawanya ke kelas. Tapi, apa yang dilakukannya pada tas itu? Tas itu digantungkannya pada paku di atas dinding, bukan di atas meja guru.
“Mana tas saya, Zen?” tanya Buya ketika tiba di kelas.
“Tuh,” tunjuk Zen muda pada dinding kelas. Sontak seisi kelas menertawai Buya. Buya hanya tersenyum tipis dengan muka memerah menahan malu sambil menurunkan tasnya.
Lain waktu, ketika Buya hendak pulang dengan motor butut kesayangannya (sejenis motor Astuti –astrea tujuh tiga, jadul bangetlah pokoknya!), Zen dan kawan-kawan melintas.
“Mogok ya, Buya?” tanya Zen ketika melihat Buya mengengkol motornya, susah payah. Buya hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Mau korek, nggak Buya?” (maksudnya biar dibakar sekalian saja motornya) timpal Zen lagi, disambut gerrr kawan-kawannya. Lagi-lagi, Buya hanya tersenyum.
Suatu ketika Zen lulus Aliyah, ia mendaftarkan diri kuliah di Mesir…dan lulus! Zen sangat bersyukur dan ingin pamitan sekaligus meminta restu kepada ustadz-ustadz di pesantrennya, termasuk….Buya.
Tibalah giliran Buya disalami Zen. Sambil menangis, karena mengingat kebandelannya dulu, Zen meminta maaf kepada Buya.
“Buya, lapangkanlah hati Buya untuk menerima maaf Zen. Zen benar-benar menyesal atas kenakalan Zen dulu, Buya. Zen minta doa Buya mengiringi Zen pergi ke Mesir,” sesal Zen sungguh-sungguh.
Buya pun mengangguk-angguk sambil melelehkan airmatanya pula.
“Iya, nak. Sebelum kau minta maaf pun, sudah Buya maafkan dirimu sedari dulu,” ujar Buya sambil mengelus pundaknya.
Zen pun pergi ke Mesir dengan membawa doa restu ustadz-ustadz di pesantrennya dulu. Tapi, ada satu keanehan terjadi pada dirinya.
Bilamana ia membaca kitab fiqh, ia sulit…sekali menangkapnya dan menyimpannya di memori. Padahal sepertinya sudah dikerahkan seluruh kemampuan otaknya untuk memindai seluruh tulisan-tulisan di kitab itu. Anehnya lagi, kejadian ini tidak berlaku pada mata pelajaran yang lain. Pada mata pelajaran lain, dengan mudah Zen menangkapnya ketika membaca buku yang bersangkutan. Hanya pada mata pelajaran fiqh lah, Zen benar-benar “gelap” saat membaca buku-bukunya, karangan ulama manapun. Dan hal itu tetap berlangsung sampai sekarang.
Hilwa berkata bahwa mereka benar-benar melihat airmata ustadz Zen mengalir ketika menceritakan kisahnya kepada Hilwa dan teman-teman sekelas, menandakan bahwa ustadz tidaklah main-main atas kisahnya ini.
Terkadang ketika kita menyakiti hati seseorang kita tidak menyadari ada ‘sesuatu’ yang telah benar-benar tergores pada dirinya. Buya, adalah sosok yang sederhana, tawadhu’, dan ikhlas. Hilwa bilang, mungkin Allah sangat menyayangi Buya, sehingga, ketika ‘sesuatu’ itu tergores, menyebabkan Allah marah. Dan, hukumannya bisa berupa apa saja. Meskipun kata Buya, ia telah sungguh-sungguh menerima maaf Zen. Tapi, ‘sesuatu’ telah tergores pada dirinya.
Selama ini mungkin kita suka menyakiti hati seseorang, baik lewat tindakan kita maupun lewat ucapan. Dan kita mungkin tidak pernah berpikir apakah orang itu akan cepat melupakan kesalahan kita itu, dan lantas memaafkan, atau tidak. Karena, meminta maaf pada saat kesalahan itu terjadi pun, belum tentu pernah. Kita tidak pernah tahu, apakah Allah akan segera membalas perbuatan kita itu, atau menundanya di akhirat. Kita juga tidak akan pernah tahu, apakah kita akan sanggup menanggung hukuman dari Allah itu, atau tidak. Terlebih-lebih bila orang yang kita sakiti itu adalah orang yang seharusnya kita hormati (orang tua, guru, murabbi, dll). Yah, sebaiknya kita memang memikirkan dahulu akibat perbuatan kita, sebelum kita melakukannya.

Tidak ada komentar: